Selasa, 18 Agustus 2009

Kasus Taxaco VS Libya dan kaitannya dengan pertanggungjawaban negara dalam Hukum Internasional.

Fakta Hukum

Dalam kasus ini melibatkan dua pihak yaitu antara perusahaan minyak Amerika Texaco Overseas Petroleum Co. and California Asiatic Oil Co. dengan negara libya. Perusahaan tersebut mengadakan perjanjian kontrak kerjasama dengan Libya dalam bidang pengeksploitasian minyak yang dilakukan oleh perusahaan Texaco di negara Libya. Dalam kontrak itu salah satunya terdapat “Stabilisation Clause” yaitu klausa yang pada intinya tidak melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan yang berkontrak. Libya tidak akan melakukan nasionalisasi terhadap Texaco. Namun pada tahun 1973-1974 Libya melanggar kontrak dengan menasionalisasikan seluruh property, hak, asset, dan keuntungan perusahaan Amerika.

Sesuai kontrak yang telah dibuat, apabila terjadi sengketa antara dua pihak, maka sengketa itu akan diajukan melalui jalur Arbitrasi, Dalam hal ini Profesor Dupuy, seorang pengacara internasional Perancis, telah ditunjuk sebagai arbitrator. Texaco yang merasa dirugikan atas.

nasionalisasi perusahaan tersebut meminta pertanggungjawaban kepada Libya dengan cara restitusi (pengembalian keadaan seperti semula) dan kompensasi (ganti rugi materiil) secara penuh.



Masalah Hukum

Yang menjadi permasalahan dalam kasus ini adalah :

Apakah tindakan Libya dalam menasionalisasikan perusahaan Texaco sah sesuai dengan ketentuan Hukum Internasional?



Putusan


Dalam kasus ini, arbitrase memutuskan bahwa yang dilakukan Libya tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu, arbitrase mengharuskan Libya bertanggungjawab dengan membayar gantirugi.



Analisa

Jadi ada dua hal yang berkaitan dalam kasus ini, yaitu mengenai :

Pelanggaran kontrak, dan;
nasionalisasi yang dilakukan Libya.


Kontrak yang dibuat antara Libya dengan Texaco memuat “Stabilisation Clause” yang berdampak dilarangnya para pihak melakukan tindakan nasionalisasi terhadap perusahaan yang bersangkutan.

Mengenai tindakan nasionalisasi (ekspropriasi), memang merupakan suatu pelnggaran hukum, namun dapat pula sah apabila memenuhi salah satu syarat di bawah ini :

Tidak dilaksanakannya Hak-hak pemilikan perusahaan oleh Negara pemilik perusahaan.
Unsur kepentingan umum.
Ganti rugi yang pantas.


Dalam hal ini, unsure ke-1 bukanlah keadaan yang terjadi pada Libya karena perusahaan itu diduduki secara aktif oleh Texaco sendiri. Unsur ke-2, hingga sekarang belum ada kesepakatan sebatas apa standarisasi untuk kepentingan umum itu. Maka, unsure ke-3 yaitu ganti rugi, merupakan syarat yang dilakukan Libya apabila ingin melakukan eksproriasi. Dengan kata lain jika ingin melakukan nasionalisasi harus membayar kompensasi/ganti rugi berdasarkan Market Value.

Jadi, tindakan nasionalisasi yang dilakukan oleh Libya tidak sah karena tidak disertai dengan ganti rugi yang sah dan melanggar “Stabilisasi Clause” dalam kontrak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar